Selasa, 05 Oktober 2010

Jangan Jadi "Miss Komplain"

Pernahkah Anda menghitung berapa kali Anda mengeluh dalam satu hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jika dibuat daftarnya, bisa jadi sepanjang hari itu kita lebih banyak mengeluh dari hal-hal yang sepele di rumah sampai hal-hal yang berat di tempat kerja atau di lingkungan tempat kita tinggal.
Suatu hal yang wajar jika sesekali kita mengeluh, karena sudah menjadi kodrat manusia suka berkelu kesah seperti disebutkan dalam Surat Al-Ma'arij ayat 19-21, "Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan sifat suka mengeluh. Apabila ditimpa musibah dia mengeluh dan apabila ditimpa kesenangan berupa harta ia jadi kikir." Tapi yang sering terjadi adalah, tidak ditimpa musibah pun kita kadang sering mengeluh. Jalanan macet kita mengeluh, padahal kita tahu bahwa kemacetan adalah pemandangan sehari-hari di kota Jakarta. Pekerjaan rumah tangga menumpuk karena tidak ada pembantu, kita mengeluh. Anak rewel, kita mengeluh. Tugas di kantor bertambah, kita mengeluh. Seolah semua hal jadi bahan keluhan.
Padahal kalau ditelaah, banyak hal-hal yang kita keluhkan hanyalah urusan dunia, karena ketidakpuasan kita terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Tapi manusia memang sudah terbiasa banyak mengeluh, hingga kadang lupa mensyukuri hal-hal yang kita anggap tidak penting padahal sangat penting. Sebut saja nikmat sehat. Pernahkah kita bersujud dan mengucap syukur dengan tulus karena Allah telah memberi nikmat sehat setiap hari sehingga kita bisa melakukan aktivitas dengan lancar. Jika pun ada hambatan, seharusnya tidak membuat kita jadi mengeluh tapi melihatnya sebagai ujian dan tantangan.
Sebagai makhluk yang lemah, setiap manusia tentu saja suatu waktu pernah mengeluh, sadar atau tidak sadar. Asalkan tidak menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter yang bakal sulit dihapus dari kepribadian seseorang. Orang yang memiliki karakter suka mengeluh akan berdampak pada munculnya suasana yang tidak nyaman bagi lingkungan dan orang di sekitarnya. Pernahkah Anda berjumpa dengan orang yang tabiatnya suka mengeluh dan Anda merasakan sangat tidak nyaman bahkan jengkel berada di dekatnya.
Kita memang harus waspada dengan sifat suka mengeluh ini, jika tidak ingin sifat buruk ini menjelma menjadi bagian dari karakter. Untuk itu perlu latihan pengendalian diri agar tidak selalu melontarkan keluhan Bagaimana caranya?
1. Biasakan menyampaikan keluh kesah pada Allah semata
Ketika kita ditimpa kemalangan atau musibah, lebih baik kita menyampaikan keluh kesah dan kegundahan hati kita pada Allah Swt. Karena Dia-lah Yang Mahatahu segala persoalan dan kegundahan dalam jiwa kita. "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya," (QS Yusuf;86).
2. Kita bisa berkeluh kesah pada orang lain, hanya jika keluh kesah itu merupakan hal yang penting.
Ini mungkin berkaitan dengan upaya Anda untuk mendapatkan hak Anda, atau hak orang lain yang Anda kenal. Kadang memiliki keluhan dan menyampaikan keluhan pada orang lain itu penting, asalkan disampaikan dengan baik-baik dan tidak berlebihan.
3. Bicarakan solusi yang praktis
Daripada mengeluh tiada akhir, lebih baik memikirkan atau membicarakan solusi praktis atas permasalahan yang kita hadapi. Tidak ada masalah yang tidak bisa dicari solusinya. Jika menemui jalan buntu, mohonlah bantuan pada Allah Swt.
4. Jangan membesar-besarkan hal yang kecil
Anas bin Malik berkata, "Saya melayani Rasululullah Saw. selama dua puluh tahun dan beliau tidak pernah mengatakan 'ahh' pada saya. Dan beliau tidak pernah mengatakan apapun yang tidak saya lakukan, 'mengapa kamu tidak melakukannya?' atau apapun yang telah saya lakukan, 'mengapa engkau melakukan itu?'" (HR Muslim). Jadi biarkan saja hal-hal sepele yang tidak penting itu lenyap dan tidak lagi mengganggu pikiran kita.
5. Bicaralah tentang nikmat Allah
Daripada memilih membicarakan segala sesuatu yang salah dalam hidup Anda, pilihlah topik pembicaraan tentang hal-hal yang menyenangkan dalam hidup Anda. Dengan bersikap seperti ini, bukan hanya membantu Anda menghindar dari keluhan, tapi juga mematuhi perintah Allah untuk selalu mensyukuri nikmat Allah, "Lalu nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?".
6. Ingatlah mereka yang kurang beruntung
Salah satu cara untuk menyentak kita kembali untuk melihat realitas dan menghargai berkah yang Allah berikan pada kita adalah mengingat mereka yang kurang beruntung dari kita.. Bacalah berita-berita tentang orang lain yang menderita di Asia, Afrika, dan seluruh dunia. Bacalah tentang kehidupan anak yatim piatu di Palestina, tentang kehidupan para tunawisma di lingkungan kita sendiri. Sesekali berinteraksilah dengan mereka dan jangan menenggelamkan diri dalam rasa putus asa, tetapi menggunakan cerita mereka sebagai alat untuk bersyukur dan bersyukur kepada Allah atas apa yang kita miliki.
7. Kurangi stres dalam hidup Anda
Kita mungkin mengeluh karena kita mengalami stres yang cukup berat dalam kehidupan ini. Anda perlu tempat untuk menyendiri. Berhentilah sejenak, carilah tempat yang tenang untuk bersantai, duduk di ruang yang gelap, tarik napas dalam-dalam selama beberapa menit, berjalan-jalan di luar rumah, mendengarkan lagu-lagu nasheed dan membaca beberapa Al Qur'an akan memberikan ketenangan bagi hati dan pikiran yang sedang tertekan.
8. Bacalah kisah-kisah dalam Sirah, catatlah bagian-bagian yang penting dan pengalaman para nabi, sahabat nabi dan generasi-generasi muslim di masa lalu, belajarlah dari pengalaman, sikap dan cara mereka menghadapi masalah.
9. Bicarakan masalah-masalah lain yang lebih penting
Misalnya hal-hal baru yang mengundang minat Anda untuk belajar, proyek-proyek untuk pekerjaan Anda atau pengalaman jalan-jalan melihat keindahan alam yang membuat Anda merenungkan keindahan ciptaan Yang Mahakuasa.
10. Ceritakan pengalaman-pengalaman lucu yang pernah Anda alami, asal bukan cerita bohong.
Ketika berkumpul bersama teman atau keluarga, akan lebih ceria jika kita mendengar cerita-cerita lucu daripada mendengar keluhan, yang mereka sendiri tidak bisa membantu memberikan jalan keluar. Ceritakanlah hal-hal ringan yang lucu dan berkesan yang pernah Anda alami, ini akan membuat suasana dan orang di sekeliling Anda lebih menyenangkan.
11. Kenali sikap suka mengeluh yang jadi kebiasaan
Perhatikanlah selalu perkataan kita dari waktu ke waktu, apakah kita merasakan bahwa mengeluh lebih merupakan kebiasaan dari suatu usaha yang berguna? Mengakui hal itu sebagai kebiasaan adalah langkah pertama yang penting untuk mulai melawan sikap suka mengeluh.
12. Cari lingkungan yang lebih baik
Apakah kita merasakan lebih banyak mengeluh jika kita berada di sekitar orang-orang tertentu? Mungkin itu karena kita tidak memiliki banyak kesamaan minat dengan orang-orang tersebut, atau karena mereka tidak tertarik untuk bersikap positif dan berterima kasih. Jika itu terjadi, maka sudah saatnya kita mencari lingkungan teman yang lebih baik.
13. Sedikit Bicara
Umumnya, jika kita sudah mencoba segala sesuatu yang kita pikirkan dan masih menemukan diri kita terlalu banyak mengeluh, mungkin itu karena kita sudah terlalu banyak bicara. Jangan biarkan setan yang mengarahkan kita untuk bicara hal-hal yang tidak berguna atau berbahaya. Pertahankanlah kelembaban lidah dengan selalu mengingat Allah. Bertobatlah kepada-Nya dan bershalawatlah atas nama Rasulullah Saw. sesering mungkin. (ln/sismagz)

Sumber sumber dosa manusia

            Manusia modern dikelilingi dengan dosa. Hakikatnya manusia modern sama dengan manusia di zaman jahiliyah. Mereka melakukan dosa dan maksiat dengan sengaja dan sadar. Mereka tidak takut dengan perbuatan mereka lakukan itu. Berbuat dosa seperti menjadi pilihan hidup mereka.
Mereka berbuat dosa, karena itu menjadi kenikmatan hidup mereka. Berzina, minum minuman keras, memakan makanan haram, dan perbuatan keji lainnya, semuanya mereka nikmati. Karena kemaksiatan sesuai dengan nafsu mereka.
Sesungguhnya dosa dan maksiat itu bertingkat-tingkat, dan kerusakan dan hukumannya berbeda pula. Namun, akar dan asal-usul dosa itu ada dua hal, pertama, meninggalkan perintah Allah, dan kedua melanggar larangan Allah. Maka, hakikatnya orang-orang mukmin yang muttaqin, ialah mereka yang dengan ikhlas melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Inilah bentuk ketundukan, kepatuhan, dan berserah diri secara total kepada Allah Azza Wa Jalla.
Kemudian, dosa ini dibagi dalam empat kategori, yang masing-masing mempunyai pengaruh dalam kehidupan seseorang. Diantaranya :
Dosa mulkiyah, adalah perbuatan atau sifat makhluk yang mengadopsi sifat-sifat Allah. Seperti merasa suci, kultus, kesombongan, kesemena-menaan, merasa tinggi, kezaliman, menjajah, dan memperbudak manusia. Perbuatan ini masuk dalam katagori syirik (menyekutukan) Allah.
Karena, yang sering menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan syirik, merasa suci, berlaku sombong dengan kekuasaan dan harta yang dimilikinya. Para penguasa, pemimpin gerakan, jamaah, partai, bisa berlaku sombong, disebabkan kekuasaan yang dimilikinya. Bisa mengatur, menentukan, memerintah, dan bahkan bertindak sewenang-wenang, dan tidak ada lagi yang berani mengingatkannya.
Dirinya bisa berlaku sebagai orang suci, yang kemudian dikultuskan pengikutnya, atau menciptakan tata-cara yang membuat para pengikutnya melakukan kultus, dan pemimpin itu seolah-olah berubah menjadi seorang tuhan, yang kemudian dapat menentukan nasib seseorang. Seseorang menjadi bergantung hidupnya kepada mereka yang memiliki kuasa. Entah itu para penguasa, pemimpin gerakan, jamaah, partai dan organisasi, jika tidak ada lagi yang dapat mengingatkan bisa berubah menjadi ‘tuhan’.
Barangsiapa yang menjadi pelaku jenis dosa ini, mak ia telah merampas ketuhanan dan kerajaan (kedaulatan) Allah dan menjadi tandingan bagi-Nya. Ini adalah dosa yang paling besar disisi Allah dan amal perbuatan yang baik tidak gunanya.
Betapa banyak manusia yang sekarang telah berlaku dan berubah dirinya menjadi tuhan, karena hanya sedikit memiliki kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan (waktu), dan kemudian mereka mengubah sifat-sifat dasar mereka, dan mereka berubah menjadi ‘tuhan-tuhan’ yang sejatinya tidak layak.
Dosa syaithoniyah adalah dosa di mana palakunya menyerupai perilaku dan sifat setan, seperti melampui batas, penipuan, dengki, memakan harta yang haram, makar, memerintahkan perbuatan maksiat kepada Allah, menghiasi kemaksiatan dengan kebaikan, melarang melakukan ketaatan kepada Allah, melakukan bid’ah, serta mendakwahkan bid’ah dan kesesatan. Ini dosa yang akan menjerumuskan para pelakuknya ke dalam neraka jahanam.
Betapa banyak manusia yang berwujud manusia, tetapi perbuatan mereka seperti setan, dan menjadi hamba setan. Perbuatannya selalu durhaka dan melawan kepada Allah. Tidak mau bertahkim (berhukunm) dengan hukum Allah, dan hanya mengikuti hwa nafsunya, yang akhirnya menjerumuskan diri mereka ke dalam kesesatan yang nyata. Tetapi, mereka masih berani mengatakan yang mereka kerjakan adalah kebajikan. Inilah orang-orang yang sudah menjadi pengikut setan.
Dosa bahimiyah adalah binatang, yang menampakkan pelakunya berbuat kejam dan biadab, seperti menumpahkan darah, melakukan peperangan, menindas kaum yang lemah, dan menghancurkan kehidupan mereka. Dengan tanpa merasa menyesal atas perbuatan mereka.
Manusia berubah menjadi binatang buas, hanya mengikuti syahwat perut dan seksual. Dari sini lahir perzinahan, pencurian, memakan harta yang haram, memakan harta anak yatim, bakhil, pelit, penakut, keluh-kesah, yang menyebabkan manusisa sudah tidak lagi memiliki landasan hidup yang benar.
Manusia telah terjatuh ke dalam bentuk baru, sebagai binatang. Karena menjadi bahimiyah, dan menjauhkan dari perintah dan larangan dari Allah Ta’ala. Wallahu’alam 

Wahai Muslim, Perangi Virus Malas!

Rasullah pernah memohon dijauhi dari beberapa perkara; kesulitan, kesedihan, lemah, malas, penakut, pelit, banyak hutang, dan tertindas


Oleh  Faza Abdu Robbih*

Hidayatullah.com-- Ditinjau dari sisi Psikologis, malas memang bukan penyakit fisik yang dapat terlihat secara kasat mata, yang bisa dikonsultasikan ke dokter lalu kita cari obatnya di apotik.

Malas memang salah satu penyakit yang sering hinggap pada kita, kadang ia datang di saat-saat yang sangat genting seperti saat deadline tugas atau saat-saat sibuk. Boleh jadi ia adalah masuk salah satu penyakit “berbahaya” karena menyerang pusat seluruh organ kita, hati.

Ia juga dapat disebut sebagai kelemahan mental, karena memang virus malas menyerang bagian penting dalam pergerakan hidup manusia, yakni mental.

Dengannya kita dapat bersemangat dan optimis menatap hidup, ketiadaannyapun akan membuat manusia terus berada dalam jurang kepesimisan. Hebatnya lagi, penyakit ini tak memandang usia, golongan, tua, muda, anak-anak, remaja, semua dapat terkena ‘serangannya’.

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi malas, diantaranya; terlalu terbebani dengan tugas, tidak suka dengan pekerjaan yang ia kerjakan, keadaan yang tertekan, bawaan sejak lahir, terlalu banyak harapan (muluk) yang tidak dapat direalisasikan dan lain-lain. Tapi semua itu tak dapat dijadikan alasan seseorang untuk bermalas-malasan.

Tulisan ini dapat bermanfaat bagi mereka yang sedang terjangkit “virus abu-abu’ ini.  Beberapa trik di bawah ini dapat Anda coba ketika malas atau mulai merasakan gejala-gejala penyakit ini;

1. Intropeksi dan berkeinginan kuat untuk berubah.

Seluruh orang sadar bahwa malas adalah perbuatan yang kurang baik, anehnya ternyata kita sering melakukan hal ini. Tak bijak rasanya kalau kita terus menyalahkan diri tanpa ada niat untuk berubah, selain memang malas adalah perbuatan yang manusiawi, menyesal tanpa adanya usha untuk berubah sama saja nihil. Langkah awal yang tepat ketika kita malas adalah intropeksi dan berniat untuk berubah, karena ketika seseorang mempunyai niat dan keinginan yang kuat maka ia akan menemukan cara dan jalan keluar dari setiap masalah yang ia hadapi.

Seorang guru kami pernah berpesan, “Himmatu rijal tahdimul jibal.” (keinginan yang kuat seseorang akan mampu menaklukkan gunung). Karenanya, tak ada yang tak mungkin di dunia ini, selama niat masih terpatri dalam diri maka yakinlah kesuksesan akan selalu menghampiri.

Keinginan untuk berubah ini dibarengi dengan sedikit merenung akan dampak negative dan positif yang kita dapat dari kemalasan ini. Sesudah merenung dan intropeksi diri kita bisa meninggalkannya sambil sedikit tersenyum dan katakan dalam diri; “Saya akan selalu semangat dan tidak akan malas lagi”.  Kabarnya, sedikit senyum dapat merenggangkan otot-otot kita yang sedang tegang.

Untuk berubah, tak etis kalau kita masih menunda-nunda (taswif) hingga esok. Mulailah dari sekarang, tak ada kata nanti, esok, ini dan itu. Semua sudah harus dimulai saat ini juga karena tugas kita lebih banyak dari kesempatan yang kita miliki. Kalau bukan sekarang kapan lagi!, kalau bukan kita, siapa lagi!, dan kalau bukan dari hal ini darimana lagi!.


2. Bangkit, bergerak dan cari Motifasi tuk terus bangkit.

Setelah membulatkan tekad dan niat untuk meninggalkan kemalasan, kita mulai kembali beraktivitas. Kita bisa memulai dari kegiatan yang paling kita sukai namun masih membawa manfaat. Mencoba kegiatan baru yang tak biasa juga tak ada salahnya, semakin banyak kita menyibukkan diri semakin terkikis pula kemalasan kita. Usahakan penuhi hari-harimu dengan kegiatan dan aktifitas. Dari aktivitas-aktivitas yang kita lakukan mungkin akan membentuk sebuah kebiasaan baru yang menyenangkan hingga kita akan merasa enjoy melakukannya.

Dibawah ini ada beberapa opsi untuk mengisi hari-hari malasmu:

a. Tontonlah acara yang dapat membangkitkan semangat dan motivasimu; Sebuta misalnya Kick Andy, Mario Teguh atau ESQ dan lain-lain.

b.  Kunjungi kawan and saudara (silaturahmi), selain menjalin persaudaraan, kita juga mendapat pahala dan karunia berupa umur panjang dan rizki yang luas. Kita juga dapat mengendurkan otot yang sedang tegang dengan saling bercanda ria dan bertukar cerita.

c.  Rekreasi, mungkin kegiatan yang penuh kadang membuat kita jenuh. Rekreasi dapat menjadi selingan dari sekian kegiatan kita yang padat. Berkunjung ke taman dan kebun bisa jadi pilihan yang baik dan ekonomis, selain harganya murah, rekreasi ini bisa mencerahkan pikiran dan menyehatkan mata.

d.  Bacalah buku-buku  motivasi untuk dapat bangkit dan bergerak kembali, seperti 7 Habits, buku para Trainer. Bagi para pelajar pencari ilmu ada beberapa buku yang dapat dijadikan bahan bacaan seperti;Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum karya Imam Zarnuji, Shafahat min Shabril Ulama karya Syekh Abdul Fattah Abu Guddah , Uluwul Himmah karya Muhammad Ismail Al Muqaddim, La Tahzan karya ‘Aidh Al Qarny, Al JAmi’ Li Akhlaqi Rowi wa Adabus Sami, ’ karya Imam Khatib Al Baghdadi, Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim karya Imam Ibnu Juma’ah, Al Mufid fi Adabil Mufid wal Mustafid karya Imam Al ‘Almawi.

3. Ciptakan tujuan dan target hidup

Tujuan dan target ibarat peta, tanpanya perjalanan hidup akan terasa hampa dan tak terarah. Sudah seyogyanya bagi seorang yang ingin bangkit dari kemalasan untuk membuat tujuan dan target dalam hidupnya, kalaupun sudah ada ia dapat mengeceknya kembali serta menganalisis kelemahan apa saja yang ia miliki dalam (awakness).

Setelah menentukan tujuan dan arah hidup, hal penting lainnya adalah disiplin. Tanpanya semua yang sudah direncanakan akan nihil dan sia-sia. Jangan pernah memberi peluang pada hawa nafsu untuk menjatuhkan kita dalam lubang kemalasan untuk yang kesian kalinya.

4. Benahi hati


Pusat penyakit malas adalah hati. Semua akan dapat diselesaikan dengan menyembuhkan hati. Para Ulama memberikan lima alternative untuk merehabilitasi hati yang sedang eror; membaca al Qur’an dengan penuh penghayatan, mendirikan Shalat malam, perbanyak Zikir, berkumpul dengan orang shaleh, dan berpuasa. Hati adalah sentral dari semua organ manusia, ketika ia sudah baik maka seluruh tubuh akan baik begitupun ketika hati masih rusak maka jangan harap organ lain akan baik. Sering-seringlah berbenah hati, Karena kalau sudah rusak kita akan sulit mengobatinya. Pastkan kondisi hati selalu mood dengan banyak bertaqarrub pada yang Maha Kuasa.

5. Bentuk komunitas yang baik

“Bergaul denagan tukang minyak wangi, akan terkena wangi. Bergaul dengan tukang las akan terkena baunya juga.” Begiutlah kiranya pepatah berkata.

Pergaulan sedikit banyak mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang. Ketika kita sedang merasakan penyakit ini, cepat-cepatlah mencari komunitas dan lingkungan yang baik untuk dapat memprotek kita dari segala keburukan yang dapat ditimbulkan olehnya. Banyak orang yang dapat menaklukan hawa nafsu dan kemalasannya seorang diri, tapi tak sedikit dari kita yang tak dapat bangkit dari kemalasan hanya dengan seorang diri.

Di sinilah peran penting seorang teman dan orang lain untuk dapat memberikan support dan dukungan bagi kita untuk dapat bangkit kembali.

Dari komunitas yang baik pula kita akan dapat mengembangkan kemampuan yang lainya. Kenali diri, Gali potensi, raih prestasi. Kiranya trilogy ini yang sering didengungkan para sahabatku untuk terus berpacu dan berjuang. Masih banyak potensi yang terpendam dalam diri kita, sudah saatnya kita mengeksploitasi sumber daya itu.

6. Ciptakan kegiatan baru  

Setiap sesuatu punya sebab akibat. Karenya usahakan semaksimal mungkin untuk meninggalkan segala faktor pendorong munculnya kemalasan ini. Tidur-tiduran, menonton Film yang kurang bermanfaat, ngerumpi, berleha-leha, menunda-nunda adalah sebagian aktifitas yang sudah harus menjadi “Black List” dalam agenda hidup kita kedepan. Tak jarang dari kegiatan baru inilah kita menemukan kegiatan yang sesuai dengan karakter atau menjadi income keuangan kita.

7. Perbanyaklah doa

Rasullah SAW pernah memohon dijauhi dari beberapa perkara; kesulitan, kesedihan, lemah, malas, penakut, pelit, banyak hutang, dan tertindas. Tak ada sesuatu yang dijauhi Rasul kecuali memang ia memiliki dampak negative yang luar biasa. Salah satu permohonan Rasul di atas adalah dijauhi dari penyakit malas.

Salah satu doa yang sering Rasulullah SAW panjatkan adalah, “Allahumma inna na’udzubika minal hammi wal hazan wa na’udzubika minal ajzi wal kasal wa na’udzubika minal jubni wal bukhl wa naudzubika min galabatid daini wa qahril rijal”.

Terakhir, mungkin kita akan merasakan semua ini akan terasa sulit awalnya, tapi yakinlah kawan, dengan berjalannya waktu dan proses kita pasti kan dapat melewati itu semua.

Selamat derjuang dan selamat mencoba!

*)Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushululdin Universitas Al Azhar

Minggu, 12 September 2010

Bersegeralah, jangan menunda!

Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar

Hidayatullah.com—Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka  menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.

Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat  yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.

Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda.Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).

Mengapa menunda?


Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.

Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.

Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya  luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.

Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.

Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.

Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.

Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.

Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut

Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya,  tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.

Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong,  agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.

Segera, segera, segera!

Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan  mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.

Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).

Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya,“Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.

Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan  bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”

Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”

Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas.  Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab[Tatang/Robin/hidayatullah.com] 

Kaum fakir miskin di hadapan Alloh SWT

Jangan pandang sebelah mata para fakir, sebab mereka adalah para kekasih Rasul. Apa saja keutamaan mereka?

SUATU hari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam kedatangan seorang utusan kaum fuqara. Kepada baginda Nabi SAW dia berkata. ”Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara menghadapmu,” Jawab Nabi,” Selamat datang bagimu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang disenangi Allah.” Selanjutnya utusan itu bertanya,” Wahai Rasul pendapat di kalangan kami mengatakan, bahwa orang-orang kaya mampu melakukan segala amal baik: Ibadah hari dapat, sedangkan kami tidak; sedekah oke sedangkan kami untuk makan saja pas-pasan…   Rasulpun  menjawab,” Sampaikanlah kepada mereka, bahwa jika mereka bersabar atas kefakiran maka akan memperoleh 3 pahala yang tidak diperoleh orang-orang kaya:

Pertama, kamar merah di surga, para penghuni surga melihatnya seperti masyarakat dunia melihat bintang di langit. Siapapun tidak boleh masuk ke dalamnya, kecuali  Nabi Fakir, syuhada fakir, dan mukmin fakir.

Kedua, para fuqara-masakin lebih dulu masuk surga 500 tahun (waktu dunia) sebelum orang-orang kaya. Mereka bebas bergembira dan bersenan-senang di dalamnya.

Ketiga, bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil para fuqara-masakin jauh lebih unggul dibandingkan dengan bacaan orang-orang kaya,sekalipun mereka  tambah dengan 1000 dirham. Demikian pula amal kebaikan lainnya. Kemudian wakil dari fuqara itu pulang dan menyambaikan kabar gembira dari Nabi SAW tersebut kepada rekan-rekan mereka. Jawab mereka,” Kami rela ya Tuhan,  dan kami sangat lega hati. “   

Rasulullah bersabda, ”Setiap orang memiliki hobi, sedang hobiku fakir dan jihad, barangsiapa senang keduanya berarti senang kepadaku, dan yang membencinya berarti pula membenciku.” (Riwayat Anas bin Malik)

Dalam satu kesempatan, tokoh dari Bani Fazarah, Uyainah Hishin, bertamu ke rumah Rasul. Secara kebetulan saat itu di sana ada tiga orang sahabat Nabi yakni: Salman Al Farisi, Shuhaib Sinan Ar Rummy dan Bilan Bin Rabbah. Ketiga orang tersebut mengenakan pakaian—yang  menurut Fazarah buruk dan bau.

Uyainah berkata,” Kami  adalah bangsawan yang punya harga diri, lalu kami masuk. Mereka hendaknya dikeluarkan, karena bau mereka mengganggu kami.”

Lalu Allah menurunkan firman-Nya.” Bersabarlah kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu berdoa kepada Tuhan pagi-sore semata-mata hanya mengharap kerihdaan-Nya.” (Al-Kahfi: 28).

Dalam ayat tersebut Allah melarang orang berlaku seenaknya terhadap orang-orang yang sholeh walau kurang harta. Janganlah pandanganmu berpaling dari mereka, hanya karena menginginkan kemewahan dunia atau lantaran merasa diri kaya dan mampu. Bahkan setiap Muslim—sebagaimana hadits di atas—wajib menyenangi dan berbuat baik kepada fuqoro masakin, karena Allah dan Rasulnya telah menempatkan mereka pada tempat yang mulia.

Pada hari kiamat, seseorang dipanggil dan Allah berkata ramah/lunak kepadanya, seperti orang  minta maaf, lalu firman-Nya, ”Demi kemenangan dan keagungaan-Ku, harta dunia Ku-jauhkan darimu, bukan karena aku memandang hina kepadamu. Tetapi hanya karena telah aku sediakan kemuliaan dan karunia bagimu. Keluarlah ke baarisan itu, cari orang yang pernah membantumu secara tulus ikhlas. Ajaklah mereka bersamamu, lalu ia mencarinya hingga ketemu orang-orang yang pernah membantunya dulu, dan mereka diajak bersama-sama masuk surga,” (Riwayat Hasan RA)

Masih dalam riwayat yang sama Rasulullah bersabda,”Bergaullah dengan fakir miskin sebanyak-banyaknya, bersikap sopanlah terhadap mereka, karena mereka akan diberi kekuasaan kelak.” Seseorang bertanya,” Kekuasaan apa yang dimaksud” Jawab Nabi,”Kelak di hari kiamat diserukan kepada mereka: Perhatikan orang yang dahulu memberi makan dan minum kepadamu sekalipun hanya seteguk air, serta yang memberi pakaian sekalipun hanya sehelai kain, lalu ajaklah dan gandenglah tangan mereka menuju surga.” (Riwayat Hasan RA).

Lima Kemuliaan


Ada lima kemulian kau fuqara dan masakin (fakir-miskin) di hadapan Allah.

  1. Pahala shalat, sedekah dan lain-lain melebihi orang kaya.
  2. Pahala dari keinginan yang tidak dipenuhi. Seorang bertanya kepada Nabi. ”Jika kami menginginkan sesuatu, lalu tidak terpenuhi, berpahalakah kami?” Jawab Nabi,” Dengan amalah manal lagi kamu beroleh pahala jika tidak dengan demikian?” (Riwayat Hasan RA). 
  3. Masuk surga lebih dahulu.
  4. Ringan hizabnya disbanding yang lain.
  5. Tidak menyesal, sebab para orang kaya kelak ingin seperti orang miskin.  

Menurut Al Faqih Abu Laits Samarqandi, ada beberapa fungsi fakir miskin yaitu:

Pertama,
 berfungsi sebagai dokter bagi orang kaya, karena jika sakit ia diperintahkan sedekan kepada fakir miskin.

Kedua, berfungsi sebagai pembersih, karena dengan sedekah dosa-dosa orang kaya lenyap, atau sebagai pembersih hartanya dengan memberikan zakat.

Ketiga, sebagai pesuruh, karena ketika orang kaya akan bersedekah untuk bakti kepda orang tuanya yang sudah wafat, mereka mengundang orang fakir miskin dan memberikan sedekah kepada mereka.

Keempat, penjaga harta kekayaan, sebab harta yang dikeluarkan zakatnya(sedekahnya) akan dipelihara dari aneka bala(bencana).

Ibnu Abbas RA berkata,” Terkutuk orang yang memuliakan seseorang karena hartanya, dan menghina orang karena kemiskinannya.”
Satu saat iblis datang dalam ujud orangtua menemui  Nabi Sulaiman Alaihis Salam. Kemudian beliau (Nabi Sulaiman) bertanya, “Apa yang kau lakukan terhadap ummat Nabi Isa AS? Jawab iblis,”Kuajak mereka menyembah dua tuhan selain Allah, lalu kepada ummat Muhammad, kubujuk mereka dengan emas dan perak, hingga kecintaan mereka terhadap keduanya melebihi “Lailaha illallah”. Kata Nabi Sulaiman,”Aku berlindung kepada Allah dari godaanmu.” (Riwayat Abddul Mun’im, Idris dari ayahnya, Wahb Manbah)

Fakir miskin wajib mengerti karunia Allah yang diberikan kepadanya, bahwa Allah menjauhkan harta, karena dimuliakan-Nya kelak di sisi-Nya. Karenanya janganlah mengeluh. Bersabarlah menghadapi kesulitan dunia, hal itu niscaya lebih baik daripada dunia, meski kondisi kita dalam kemiskinan. [oleh Ali Atwa/Sahid/hidayatullah.com]

Mengikuti dan meneladani Rasullulah SAW

Bulan Rabiul Awal merupakan bulan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Hari-hari pada bulan ini banyak digunakan untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya. Beliau adalah manusia pilihan Allah SWT, dialah manusia mulia yang telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, membina ummat, dan membebaskan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju pada penyembahan kepada Allah SWT. Hal terpenting saat mengingat Nabi Muhammad SAW adalah menjadikannya sebagai suri teladan, mencintainya, dan mengikutinya. Berkaitan dengan mengikuti Rasulullah SAW ini ada 3 prinsip yang penting untuk diperhatikan :

Pertama, Makna mengikuti Rasul adalah mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman : “Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya  Allah  sangat  keras  hukuman-Nya” (Q.S Al-Hasyr:7)

“Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin maupun bagi perempuan mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata” (Q.S Al-Ahzab:36). Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan keputusan hukum Rasulullah SAW merupakan cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam (Q.S An-Nisa: 65)

Kedua, Syariat Islam diturunkan oleh Zat Yang Mahatahu tentang seluruh manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Perbedaan suku, bangsa, bahasa, tempat, dan waktu hidup bukanlah pembatas ataupun penghalang bagi penerapan syariat islam secara totalitas. Kewajiban penerapan syariat islam secara totalitas tetap dapat dilaksanakan sepanjang masa. Karenanya mengikuti Rasulullah Saw merupakan perkara yang tetap relevan sekalipun pada zaman modern sekarang ini. Kemajuan sains dan teknologi bukanlah masalah dalam penerapan syariat Islam karena IPTEK hanya mengubah sarana hidup, namun tidak mengubah metode hidup dan kehidupan.

Ketiga, Mengikuti Rasulullah Saw adalah sesuai dengan fitrah manusia. Karena Islam yang dibawanya sesuai dengan fitrah manusia. Setiap ajaran Islam berupa aqidah, ibadah, muamalah, dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya pasti sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam berasal dari Allah SWT, lalu diperuntukkan bagi manusia yang juga diciptakan oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, mengikuti Rasulullah adalah kebaikan, perolehan kasih sayang, dan limpahan ampunan. Allah SWT berfirman : “Katakanlah,”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Imran:31)

Oleh karena itu dari ketiga prinsip tersebut jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam setiap aspek kehidupan. Allah SWT memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara kaffah. Karenanya di bulan Rabiul Awal ini tidak cukup hanya ingat akan kelahiran Nabi Muhammad SAW saja, melainkan bagaimana kaum muslim secara kolektif melahirkan ummat islam yang satu diikat oleh akidah yang satu, dihukumi oleh aturan yang satu, dan dipimpin oleh pemimpin yang satu. Dan kita senantiasa dituntut untuk menjadikan risalah Islam yang dibawa Rasulullah SAW sebagai panduan hidup kita, kita tidak boleh untuk menjadikan selain islam sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi, sebab ini terkait dengan masalah keimanan. Keimanan kita diukur dari keikhlasan kita untuk menjadikan Islam sebagai tolak ukur atas setiap masalah yang dihadapi. Maka sebagai bukti atas keimanan kita sudah sepatutnya kita sebagai pemuda dan mahasiswa Islam bergerak mewarnai kehidupan ini dengan warna Islam serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah dengan solusi Islam sehingga kehidupan Islam dimana didalamnya diterapkan hukum-hukum Islam akan kembali terwujud di hadapan kita melalui wadah sistem pemerintahan Islam atau Daulah Khilafah Islamiyah. Ya, karena itulah tugas kita semua, bergerak memperjuangkan Islam. Perjuangan mahasiswa dan pemuda Islam yang sebenarnya (The Truth Struggle). Akhir kata yakinlah Saudaraku rekan-rekan mahasiswa dan pemuda Islam bila menolong agama Allah niscaya Dia menolong mereka. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S Al-Hajj: 40). Wallahu a’lam bishowab.

Penulis Aktivis Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus, Ketua umum Majelis Ta’lim Al-Marjan FPIK IPB 2007-2008, Bendahara Umum BKIM IPB), email: andi@dakwahkampus.com

Mental Budak, Bencananya Dibawa Mati

Kekerdillan jiwa inilah yang menjadikan manusia memilih hidup sebagai budak daripada majikan

KAUM mustadh’afin di mana-mana nasibnya mengenaskan. Tidak saja sekarang ketika manusia hanya dinilai dari segi materi, tapi sejak dulu ketika kekuasaan di tangan para raja dan diktator.

Golongan tertindas ini adalah mereka yang hidup di dunia dalam keadaan sempit. Mereka gantungkan nasibnya kepada orang lain yang dianggapnya bisa memberi perlindungan, kehidupan dan keselamatan. Mereka serahkan agamanya, ideologinya, aspirasi politiknya, saluran hobinya kepada orang lain.

Orang lain itu bisa berupa individu atau kelompok yang sedang berkuasa, bos yang kaya raya, pemimpin yang kharismatis, sistem kekuasaan yang otoriter, atau apa saja yang dianggap mampu memberikan kehidupan, mulai dari soal rejeki, keamanan, harga diri, dan sebagainya.

Musthad’afin adalah golongan manusia yang bermental kerdil. Mereka memandang dirinya terlalu lemah untuk bisa mandiri. Karenanya mereka memilih hidup bergantung kepada orang lain. Golongan ini tak ubahnya seperti sapi yang menyerahkan diri untuk dicocok hidungnya. Mereka mau berbuat atau melakukan apa saja, sesuai dengan kemauan majikannya. Mereka tetap tunduk pada pemerintah majikannya walaupun perbuatan itu bertentangan dengan hati nuraninya. Mereka mampu meredam gejolak jiwanya demi pengabdiannya kepada majikan.

Mereka ini tidak beragama, kecuali sekadar mengikuti agama tuannya. Mereka tidak mempunyai ideologi, kecuali mengikuti ideologi tuannya. Mereka tidak berpartai, kecuali mengikuti partai pilihan majikannya. Bukan karena mereka tidak mempunyai pendirian, tapi itulah karakter mereka. Itulah jati diri mereka yang sebenarnya.

Bagi mereka dunia itu terasa sempit. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti orang yang kepadanya mereka bergantung. Memilih yang lain, bagi mereka hampir sama dengan bunuh diri. Dunia ini, dalam pandangannya tidak memberi dua, tiga, atau sekian banyak alternatif. Yang ada hanya satu, bahwa dunia adalah pengabdian kepada yang sedang berkuasa.

Musttadh’afin di semua kurun waktu selalu ada, tidak pernah absen dalam menghiasi populasi dunia. Dari segi jumlah, mereka selalu mayoritas. Merekalah makanan empuk bagi para mutraf, para penggede negara. Di saat kampanye mereka dijadikan komoditi yang layak dijual, pada pemilu mereka diperebutkan, dan pada pasca pemilu mereka kembali dicampakkan.

Nasib buruknya di dunia tidak berakhir semasa hidupnya saja, tapi berlanjut ketika mereka di akhirat. Sangat disayangkan, kesengsaraan itu dibawa sampai menghadap Tuhan. Sebelum bertemu dengan-Nya, terlebih dahulu malaikat menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Rekaman pertanyaan itu dikutip al-Qur’an sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, adalah kami orang-orang yang tertindas di bumi. ‘Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
 (QS. an-Nisaa: 97)

Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini bukan untuk dikuasai, tapi justru menguasai. Manusia adalah khalifah, subyek di muka bumi. Karenanya tidak layak bagi manusia untuk ditentukan orang lain hidupnya. Mereka harus bisa menentukan dirinya sendiri, mengatur, dan memastikan arah serta jalan hidupnya sendiri.

Agar manusia dapat menjadi subyek, pelaku dan penentu, Allah swt telah melengkapi mereka dengan perangkat yang cukup. Bentuk fisik yang sempurna, akal sehat, dan hati nurani. Tidak hanya itu, alam seluruhnya ditundukkan Allah agar mau melayani kebutuhan manusia.

Tidak ada yang kurang bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri sebagai khalifah.

Yang menjadikan mereka tertindas, menjadi obyek yang ditentukan orang lain, adalah karena kekerdilan jiwanya. Mereka kerdil memandang potensinya. Kurang yakin terhadap karunia yang diberikan Allah kepadanya. Mereka takut mencoba sesuatu yang baru. Apa yang diterimanya sudah dianggap sebagai jatahnya. Sementara jatahnya yang lain, yang jumlahnya jauh lebih besar tidak dilirik dan dimanfaatkannya.

Kekerdilan jiwa inilah yang menjadikan mereka memilih hidup sebagai budak daripada majikan. Itulah pilihan yang paling mudah, sebab tanpa risiko, tanpa beban tanggung jawab, tanpa harus menghadapi tantangan. Bagi mereka “menggaruk” itu lebih mudah daripada “menggeleng”.

Jiwa yang kerdil mengantarkan manusia pada sikap takut. Takut menghadapi realitas, takut menghadapi kehidupan, takut menghadapi tantangan dan ancaman, takut menghadapi perubahan, takut kepada kekuasaan, takut kepada orang.

Alam pikiran dan perasaannya telah diselimuti ketakutan yang luar biasa. Lebih disayangkan lagi bahwa mereka bukan takut kepada yang menciptakan ketakutan, tapi kepada manusia yang sama-sama mempunyai rasa takut, sedikit ataupun banyak. Sayang, mereka tidak takut kepada Allah yang menciptakan kehidupan, membuat perubahan, menentukan jatah rejeki dan mendistribusikannya sesuai dengan kemauan-Nya.

Karenanya, Allah menasihati kita agar takut hanya kepada-Nya saja. Jangan sampai kita terjebak perasaan takut kepada manusia, sebab manusia tidak bisa memberi rasa aman sedikit pun. Allah berfirman:

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” 
(QS. al-Maaidah: 44)

Sebagai khalifah hendaknya kita menghindar rasa takut kepada manusia. Betapapun besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, mereka tetap manusia. Jika anggota Dewan tidak ada yang menurunkan kekuasaannya, Allah sendiri yang akan bertindak dengan caranya sendiri. Paling mudah adalah mencabut kesehatannya. Jika masih belum cukup, bila perlu mencabut nyawanya, Apa susahnya?

Seberapa pun besar kekuasaan manusia, ia tidak akan pernah mampu menguasai diri kita sepenuhnya. Bisa saja mereka memenjarakan fisik kita, tapi apakah mereka bisa memenjarakan hati dan jiwa kita? Bisa saja mereka memaksa fisik kita berbuat ini dan itu, tapi hati kita siapa yang bisa menguasainya?

Bilal bin Rabah adalah contoh monumental yang diabadikan sejarah. Meskipun oleh majikannya ia disiksa dengan amat sadisnya, ia tetap menguasai dirinya. Secara fisik ia adalah budak majikannya, tapi jiwanya merdeka. Terik padang pasir yang memanggang kulitnya, batu besar yang menindih tubuhnya, cemeti yang menghajarnya, tetap tak bisa mengubah pendiriannya. Ia tetap berkata: Ahad, ahad, ahad.

Secara fisik Bilal adalah mustadh’afin, orang yang tertindas, tapi secara aqidah ia adalah manusia merdeka. Ia mampu membebaskan jiwanya dari belenggu majikannya walaupun secara fisik ketika itu ia menjadi budaknya. Bilal memang seorang budak, tapi memiliki jiwa merdeka. Sebaliknya, banyak orang yang secara fisik merdeka, tapi bermental budak. Mereka yang disebut terakhir itu termasukmustadh’afin dalam aqidah.

Mustadh’afin
 jenis terakhir ini semakin banyak saja jumlahnya. Penampilan fisiknya bisa saja sangat meyakinkan. Pakaiannya parlente, bersepatu mengkilap dan berdasi, tapi sikap mentalnya jauh dari kemandirian. Tidak independen dalam menyalurkan aspirasi politiknya, tidak bebas dalam menentukan pilihan hidup. Dalam kesehariannya, ia mengambil sikap “apa kata bapak”. Yang baik bagi bapak, itu pula yang baik bagi saya. Pilihan bapak, itu juga pilihan saya.

Biasanya, orang bersikap demikian karena faktor ekonomi. Seseorang yang ekonominya bergantung kepada orang lain, cenderung bersikap dependen, tergantung, rela atau  terpaksa, ia tunduk kepada orang lain. Untuk itu, Allah menganjurkan kepada kita agar melepaskan ketergantungan soal rezeki itu pada seseorang atau pada sekelompok orang. Jadilah orang yang mandiri dalam mencari rezeki. Dengan kemandirian itu kita dapat merdeka dalam bersikap, bebas dalam menentukan pilihan, dan tidak terikat dengan berbagai ketentuan yang bertentangan dengan hati nurani.

Lebih dari itu adalah sikap mental kita. Dalam soal rezeki, misalnya, kita harus yakin bahwa pemilik segala kekayaan ini adalah Allah. Dialah yang memberi jatah kepada makhluk-Nya, dan mendistribusikan secara adil sesuai dengan kemauan-Nya. Keyakinan ini tidak boleh hanya berhenti di hati, tidak cukup hanya diucapkan, tapi harus dibarengi dengan usaha keras untuk mendapatkannya. Bukan disebut yakin jika hanya berdiam diri tanpa bekerja. Baru disebut yakin, jika seseorang berupaya keras untuk mendapatkannya.

Dalam mengais rezeki Allah ini juga ada sunnatullahnya. Artinya, Allah menentukan hukum-hukum ekonomi secara paten dan pasti. Siapa yang mengetahui dan menerapkan hukum itu, ada jaminan untuk mendapatkannya. Sunnatullah ini tak peduli mengenai siapa saja, muslim atau kafir terkena hukum-Nya.

Terakhir, ada baiknya jika kita simak hadits qudsi di bawah ini, “Allah telah berfirman kepada Daud, ‘Demi keagungan-Ku, setiap hamba yang menggantungkan diri kepada-Ku tanpa bergantung kepada makhluk-Ku (yang Kuketahui dari niatnya), lalu ia ditipu oleh siapapun yang ada di langit dan bumi, niscaya Aku beri jalan keluar dari tipu muslihat itu. Adapun setiap hamba yang menggantungkan diri kepada makhluk tanpa bergantung kepada-Ku (yang Ku-ketahui melalui niatnya), niscaya Aku putuskan sumber rezekinya dari langit serta Aku tetapkan kehancurannya. Dan setiap hamba yang taat kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkaruniakannya sebelum meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkanuriakannya sebelum meminta kepada-Ku, serta mengabulkan keinginannya sebelum berdo’a kepada-Ku, dan mengampuninya sebelum minta ampun kepada-Ku.” (HR. Ibnu Asakir dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik). [SAHID/www.hidayatullah.com]