Minggu, 12 September 2010

Bersegeralah, jangan menunda!

Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar

Hidayatullah.com—Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka  menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.

Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat  yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.

Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda.Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).

Mengapa menunda?


Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.

Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.

Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya  luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.

Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.

Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.

Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.

Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.

Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut

Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya,  tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.

Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong,  agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.

Segera, segera, segera!

Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan  mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.

Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).

Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya,“Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.

Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan  bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”

Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”

Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas.  Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab[Tatang/Robin/hidayatullah.com] 

Kaum fakir miskin di hadapan Alloh SWT

Jangan pandang sebelah mata para fakir, sebab mereka adalah para kekasih Rasul. Apa saja keutamaan mereka?

SUATU hari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam kedatangan seorang utusan kaum fuqara. Kepada baginda Nabi SAW dia berkata. ”Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara menghadapmu,” Jawab Nabi,” Selamat datang bagimu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang disenangi Allah.” Selanjutnya utusan itu bertanya,” Wahai Rasul pendapat di kalangan kami mengatakan, bahwa orang-orang kaya mampu melakukan segala amal baik: Ibadah hari dapat, sedangkan kami tidak; sedekah oke sedangkan kami untuk makan saja pas-pasan…   Rasulpun  menjawab,” Sampaikanlah kepada mereka, bahwa jika mereka bersabar atas kefakiran maka akan memperoleh 3 pahala yang tidak diperoleh orang-orang kaya:

Pertama, kamar merah di surga, para penghuni surga melihatnya seperti masyarakat dunia melihat bintang di langit. Siapapun tidak boleh masuk ke dalamnya, kecuali  Nabi Fakir, syuhada fakir, dan mukmin fakir.

Kedua, para fuqara-masakin lebih dulu masuk surga 500 tahun (waktu dunia) sebelum orang-orang kaya. Mereka bebas bergembira dan bersenan-senang di dalamnya.

Ketiga, bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil para fuqara-masakin jauh lebih unggul dibandingkan dengan bacaan orang-orang kaya,sekalipun mereka  tambah dengan 1000 dirham. Demikian pula amal kebaikan lainnya. Kemudian wakil dari fuqara itu pulang dan menyambaikan kabar gembira dari Nabi SAW tersebut kepada rekan-rekan mereka. Jawab mereka,” Kami rela ya Tuhan,  dan kami sangat lega hati. “   

Rasulullah bersabda, ”Setiap orang memiliki hobi, sedang hobiku fakir dan jihad, barangsiapa senang keduanya berarti senang kepadaku, dan yang membencinya berarti pula membenciku.” (Riwayat Anas bin Malik)

Dalam satu kesempatan, tokoh dari Bani Fazarah, Uyainah Hishin, bertamu ke rumah Rasul. Secara kebetulan saat itu di sana ada tiga orang sahabat Nabi yakni: Salman Al Farisi, Shuhaib Sinan Ar Rummy dan Bilan Bin Rabbah. Ketiga orang tersebut mengenakan pakaian—yang  menurut Fazarah buruk dan bau.

Uyainah berkata,” Kami  adalah bangsawan yang punya harga diri, lalu kami masuk. Mereka hendaknya dikeluarkan, karena bau mereka mengganggu kami.”

Lalu Allah menurunkan firman-Nya.” Bersabarlah kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu berdoa kepada Tuhan pagi-sore semata-mata hanya mengharap kerihdaan-Nya.” (Al-Kahfi: 28).

Dalam ayat tersebut Allah melarang orang berlaku seenaknya terhadap orang-orang yang sholeh walau kurang harta. Janganlah pandanganmu berpaling dari mereka, hanya karena menginginkan kemewahan dunia atau lantaran merasa diri kaya dan mampu. Bahkan setiap Muslim—sebagaimana hadits di atas—wajib menyenangi dan berbuat baik kepada fuqoro masakin, karena Allah dan Rasulnya telah menempatkan mereka pada tempat yang mulia.

Pada hari kiamat, seseorang dipanggil dan Allah berkata ramah/lunak kepadanya, seperti orang  minta maaf, lalu firman-Nya, ”Demi kemenangan dan keagungaan-Ku, harta dunia Ku-jauhkan darimu, bukan karena aku memandang hina kepadamu. Tetapi hanya karena telah aku sediakan kemuliaan dan karunia bagimu. Keluarlah ke baarisan itu, cari orang yang pernah membantumu secara tulus ikhlas. Ajaklah mereka bersamamu, lalu ia mencarinya hingga ketemu orang-orang yang pernah membantunya dulu, dan mereka diajak bersama-sama masuk surga,” (Riwayat Hasan RA)

Masih dalam riwayat yang sama Rasulullah bersabda,”Bergaullah dengan fakir miskin sebanyak-banyaknya, bersikap sopanlah terhadap mereka, karena mereka akan diberi kekuasaan kelak.” Seseorang bertanya,” Kekuasaan apa yang dimaksud” Jawab Nabi,”Kelak di hari kiamat diserukan kepada mereka: Perhatikan orang yang dahulu memberi makan dan minum kepadamu sekalipun hanya seteguk air, serta yang memberi pakaian sekalipun hanya sehelai kain, lalu ajaklah dan gandenglah tangan mereka menuju surga.” (Riwayat Hasan RA).

Lima Kemuliaan


Ada lima kemulian kau fuqara dan masakin (fakir-miskin) di hadapan Allah.

  1. Pahala shalat, sedekah dan lain-lain melebihi orang kaya.
  2. Pahala dari keinginan yang tidak dipenuhi. Seorang bertanya kepada Nabi. ”Jika kami menginginkan sesuatu, lalu tidak terpenuhi, berpahalakah kami?” Jawab Nabi,” Dengan amalah manal lagi kamu beroleh pahala jika tidak dengan demikian?” (Riwayat Hasan RA). 
  3. Masuk surga lebih dahulu.
  4. Ringan hizabnya disbanding yang lain.
  5. Tidak menyesal, sebab para orang kaya kelak ingin seperti orang miskin.  

Menurut Al Faqih Abu Laits Samarqandi, ada beberapa fungsi fakir miskin yaitu:

Pertama,
 berfungsi sebagai dokter bagi orang kaya, karena jika sakit ia diperintahkan sedekan kepada fakir miskin.

Kedua, berfungsi sebagai pembersih, karena dengan sedekah dosa-dosa orang kaya lenyap, atau sebagai pembersih hartanya dengan memberikan zakat.

Ketiga, sebagai pesuruh, karena ketika orang kaya akan bersedekah untuk bakti kepda orang tuanya yang sudah wafat, mereka mengundang orang fakir miskin dan memberikan sedekah kepada mereka.

Keempat, penjaga harta kekayaan, sebab harta yang dikeluarkan zakatnya(sedekahnya) akan dipelihara dari aneka bala(bencana).

Ibnu Abbas RA berkata,” Terkutuk orang yang memuliakan seseorang karena hartanya, dan menghina orang karena kemiskinannya.”
Satu saat iblis datang dalam ujud orangtua menemui  Nabi Sulaiman Alaihis Salam. Kemudian beliau (Nabi Sulaiman) bertanya, “Apa yang kau lakukan terhadap ummat Nabi Isa AS? Jawab iblis,”Kuajak mereka menyembah dua tuhan selain Allah, lalu kepada ummat Muhammad, kubujuk mereka dengan emas dan perak, hingga kecintaan mereka terhadap keduanya melebihi “Lailaha illallah”. Kata Nabi Sulaiman,”Aku berlindung kepada Allah dari godaanmu.” (Riwayat Abddul Mun’im, Idris dari ayahnya, Wahb Manbah)

Fakir miskin wajib mengerti karunia Allah yang diberikan kepadanya, bahwa Allah menjauhkan harta, karena dimuliakan-Nya kelak di sisi-Nya. Karenanya janganlah mengeluh. Bersabarlah menghadapi kesulitan dunia, hal itu niscaya lebih baik daripada dunia, meski kondisi kita dalam kemiskinan. [oleh Ali Atwa/Sahid/hidayatullah.com]

Mengikuti dan meneladani Rasullulah SAW

Bulan Rabiul Awal merupakan bulan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Hari-hari pada bulan ini banyak digunakan untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya. Beliau adalah manusia pilihan Allah SWT, dialah manusia mulia yang telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, membina ummat, dan membebaskan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju pada penyembahan kepada Allah SWT. Hal terpenting saat mengingat Nabi Muhammad SAW adalah menjadikannya sebagai suri teladan, mencintainya, dan mengikutinya. Berkaitan dengan mengikuti Rasulullah SAW ini ada 3 prinsip yang penting untuk diperhatikan :

Pertama, Makna mengikuti Rasul adalah mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman : “Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya  Allah  sangat  keras  hukuman-Nya” (Q.S Al-Hasyr:7)

“Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin maupun bagi perempuan mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata” (Q.S Al-Ahzab:36). Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan keputusan hukum Rasulullah SAW merupakan cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam (Q.S An-Nisa: 65)

Kedua, Syariat Islam diturunkan oleh Zat Yang Mahatahu tentang seluruh manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Perbedaan suku, bangsa, bahasa, tempat, dan waktu hidup bukanlah pembatas ataupun penghalang bagi penerapan syariat islam secara totalitas. Kewajiban penerapan syariat islam secara totalitas tetap dapat dilaksanakan sepanjang masa. Karenanya mengikuti Rasulullah Saw merupakan perkara yang tetap relevan sekalipun pada zaman modern sekarang ini. Kemajuan sains dan teknologi bukanlah masalah dalam penerapan syariat Islam karena IPTEK hanya mengubah sarana hidup, namun tidak mengubah metode hidup dan kehidupan.

Ketiga, Mengikuti Rasulullah Saw adalah sesuai dengan fitrah manusia. Karena Islam yang dibawanya sesuai dengan fitrah manusia. Setiap ajaran Islam berupa aqidah, ibadah, muamalah, dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya pasti sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam berasal dari Allah SWT, lalu diperuntukkan bagi manusia yang juga diciptakan oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, mengikuti Rasulullah adalah kebaikan, perolehan kasih sayang, dan limpahan ampunan. Allah SWT berfirman : “Katakanlah,”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Imran:31)

Oleh karena itu dari ketiga prinsip tersebut jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam setiap aspek kehidupan. Allah SWT memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara kaffah. Karenanya di bulan Rabiul Awal ini tidak cukup hanya ingat akan kelahiran Nabi Muhammad SAW saja, melainkan bagaimana kaum muslim secara kolektif melahirkan ummat islam yang satu diikat oleh akidah yang satu, dihukumi oleh aturan yang satu, dan dipimpin oleh pemimpin yang satu. Dan kita senantiasa dituntut untuk menjadikan risalah Islam yang dibawa Rasulullah SAW sebagai panduan hidup kita, kita tidak boleh untuk menjadikan selain islam sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi, sebab ini terkait dengan masalah keimanan. Keimanan kita diukur dari keikhlasan kita untuk menjadikan Islam sebagai tolak ukur atas setiap masalah yang dihadapi. Maka sebagai bukti atas keimanan kita sudah sepatutnya kita sebagai pemuda dan mahasiswa Islam bergerak mewarnai kehidupan ini dengan warna Islam serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah dengan solusi Islam sehingga kehidupan Islam dimana didalamnya diterapkan hukum-hukum Islam akan kembali terwujud di hadapan kita melalui wadah sistem pemerintahan Islam atau Daulah Khilafah Islamiyah. Ya, karena itulah tugas kita semua, bergerak memperjuangkan Islam. Perjuangan mahasiswa dan pemuda Islam yang sebenarnya (The Truth Struggle). Akhir kata yakinlah Saudaraku rekan-rekan mahasiswa dan pemuda Islam bila menolong agama Allah niscaya Dia menolong mereka. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S Al-Hajj: 40). Wallahu a’lam bishowab.

Penulis Aktivis Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus, Ketua umum Majelis Ta’lim Al-Marjan FPIK IPB 2007-2008, Bendahara Umum BKIM IPB), email: andi@dakwahkampus.com

Mental Budak, Bencananya Dibawa Mati

Kekerdillan jiwa inilah yang menjadikan manusia memilih hidup sebagai budak daripada majikan

KAUM mustadh’afin di mana-mana nasibnya mengenaskan. Tidak saja sekarang ketika manusia hanya dinilai dari segi materi, tapi sejak dulu ketika kekuasaan di tangan para raja dan diktator.

Golongan tertindas ini adalah mereka yang hidup di dunia dalam keadaan sempit. Mereka gantungkan nasibnya kepada orang lain yang dianggapnya bisa memberi perlindungan, kehidupan dan keselamatan. Mereka serahkan agamanya, ideologinya, aspirasi politiknya, saluran hobinya kepada orang lain.

Orang lain itu bisa berupa individu atau kelompok yang sedang berkuasa, bos yang kaya raya, pemimpin yang kharismatis, sistem kekuasaan yang otoriter, atau apa saja yang dianggap mampu memberikan kehidupan, mulai dari soal rejeki, keamanan, harga diri, dan sebagainya.

Musthad’afin adalah golongan manusia yang bermental kerdil. Mereka memandang dirinya terlalu lemah untuk bisa mandiri. Karenanya mereka memilih hidup bergantung kepada orang lain. Golongan ini tak ubahnya seperti sapi yang menyerahkan diri untuk dicocok hidungnya. Mereka mau berbuat atau melakukan apa saja, sesuai dengan kemauan majikannya. Mereka tetap tunduk pada pemerintah majikannya walaupun perbuatan itu bertentangan dengan hati nuraninya. Mereka mampu meredam gejolak jiwanya demi pengabdiannya kepada majikan.

Mereka ini tidak beragama, kecuali sekadar mengikuti agama tuannya. Mereka tidak mempunyai ideologi, kecuali mengikuti ideologi tuannya. Mereka tidak berpartai, kecuali mengikuti partai pilihan majikannya. Bukan karena mereka tidak mempunyai pendirian, tapi itulah karakter mereka. Itulah jati diri mereka yang sebenarnya.

Bagi mereka dunia itu terasa sempit. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti orang yang kepadanya mereka bergantung. Memilih yang lain, bagi mereka hampir sama dengan bunuh diri. Dunia ini, dalam pandangannya tidak memberi dua, tiga, atau sekian banyak alternatif. Yang ada hanya satu, bahwa dunia adalah pengabdian kepada yang sedang berkuasa.

Musttadh’afin di semua kurun waktu selalu ada, tidak pernah absen dalam menghiasi populasi dunia. Dari segi jumlah, mereka selalu mayoritas. Merekalah makanan empuk bagi para mutraf, para penggede negara. Di saat kampanye mereka dijadikan komoditi yang layak dijual, pada pemilu mereka diperebutkan, dan pada pasca pemilu mereka kembali dicampakkan.

Nasib buruknya di dunia tidak berakhir semasa hidupnya saja, tapi berlanjut ketika mereka di akhirat. Sangat disayangkan, kesengsaraan itu dibawa sampai menghadap Tuhan. Sebelum bertemu dengan-Nya, terlebih dahulu malaikat menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Rekaman pertanyaan itu dikutip al-Qur’an sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, adalah kami orang-orang yang tertindas di bumi. ‘Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
 (QS. an-Nisaa: 97)

Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini bukan untuk dikuasai, tapi justru menguasai. Manusia adalah khalifah, subyek di muka bumi. Karenanya tidak layak bagi manusia untuk ditentukan orang lain hidupnya. Mereka harus bisa menentukan dirinya sendiri, mengatur, dan memastikan arah serta jalan hidupnya sendiri.

Agar manusia dapat menjadi subyek, pelaku dan penentu, Allah swt telah melengkapi mereka dengan perangkat yang cukup. Bentuk fisik yang sempurna, akal sehat, dan hati nurani. Tidak hanya itu, alam seluruhnya ditundukkan Allah agar mau melayani kebutuhan manusia.

Tidak ada yang kurang bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri sebagai khalifah.

Yang menjadikan mereka tertindas, menjadi obyek yang ditentukan orang lain, adalah karena kekerdilan jiwanya. Mereka kerdil memandang potensinya. Kurang yakin terhadap karunia yang diberikan Allah kepadanya. Mereka takut mencoba sesuatu yang baru. Apa yang diterimanya sudah dianggap sebagai jatahnya. Sementara jatahnya yang lain, yang jumlahnya jauh lebih besar tidak dilirik dan dimanfaatkannya.

Kekerdilan jiwa inilah yang menjadikan mereka memilih hidup sebagai budak daripada majikan. Itulah pilihan yang paling mudah, sebab tanpa risiko, tanpa beban tanggung jawab, tanpa harus menghadapi tantangan. Bagi mereka “menggaruk” itu lebih mudah daripada “menggeleng”.

Jiwa yang kerdil mengantarkan manusia pada sikap takut. Takut menghadapi realitas, takut menghadapi kehidupan, takut menghadapi tantangan dan ancaman, takut menghadapi perubahan, takut kepada kekuasaan, takut kepada orang.

Alam pikiran dan perasaannya telah diselimuti ketakutan yang luar biasa. Lebih disayangkan lagi bahwa mereka bukan takut kepada yang menciptakan ketakutan, tapi kepada manusia yang sama-sama mempunyai rasa takut, sedikit ataupun banyak. Sayang, mereka tidak takut kepada Allah yang menciptakan kehidupan, membuat perubahan, menentukan jatah rejeki dan mendistribusikannya sesuai dengan kemauan-Nya.

Karenanya, Allah menasihati kita agar takut hanya kepada-Nya saja. Jangan sampai kita terjebak perasaan takut kepada manusia, sebab manusia tidak bisa memberi rasa aman sedikit pun. Allah berfirman:

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” 
(QS. al-Maaidah: 44)

Sebagai khalifah hendaknya kita menghindar rasa takut kepada manusia. Betapapun besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, mereka tetap manusia. Jika anggota Dewan tidak ada yang menurunkan kekuasaannya, Allah sendiri yang akan bertindak dengan caranya sendiri. Paling mudah adalah mencabut kesehatannya. Jika masih belum cukup, bila perlu mencabut nyawanya, Apa susahnya?

Seberapa pun besar kekuasaan manusia, ia tidak akan pernah mampu menguasai diri kita sepenuhnya. Bisa saja mereka memenjarakan fisik kita, tapi apakah mereka bisa memenjarakan hati dan jiwa kita? Bisa saja mereka memaksa fisik kita berbuat ini dan itu, tapi hati kita siapa yang bisa menguasainya?

Bilal bin Rabah adalah contoh monumental yang diabadikan sejarah. Meskipun oleh majikannya ia disiksa dengan amat sadisnya, ia tetap menguasai dirinya. Secara fisik ia adalah budak majikannya, tapi jiwanya merdeka. Terik padang pasir yang memanggang kulitnya, batu besar yang menindih tubuhnya, cemeti yang menghajarnya, tetap tak bisa mengubah pendiriannya. Ia tetap berkata: Ahad, ahad, ahad.

Secara fisik Bilal adalah mustadh’afin, orang yang tertindas, tapi secara aqidah ia adalah manusia merdeka. Ia mampu membebaskan jiwanya dari belenggu majikannya walaupun secara fisik ketika itu ia menjadi budaknya. Bilal memang seorang budak, tapi memiliki jiwa merdeka. Sebaliknya, banyak orang yang secara fisik merdeka, tapi bermental budak. Mereka yang disebut terakhir itu termasukmustadh’afin dalam aqidah.

Mustadh’afin
 jenis terakhir ini semakin banyak saja jumlahnya. Penampilan fisiknya bisa saja sangat meyakinkan. Pakaiannya parlente, bersepatu mengkilap dan berdasi, tapi sikap mentalnya jauh dari kemandirian. Tidak independen dalam menyalurkan aspirasi politiknya, tidak bebas dalam menentukan pilihan hidup. Dalam kesehariannya, ia mengambil sikap “apa kata bapak”. Yang baik bagi bapak, itu pula yang baik bagi saya. Pilihan bapak, itu juga pilihan saya.

Biasanya, orang bersikap demikian karena faktor ekonomi. Seseorang yang ekonominya bergantung kepada orang lain, cenderung bersikap dependen, tergantung, rela atau  terpaksa, ia tunduk kepada orang lain. Untuk itu, Allah menganjurkan kepada kita agar melepaskan ketergantungan soal rezeki itu pada seseorang atau pada sekelompok orang. Jadilah orang yang mandiri dalam mencari rezeki. Dengan kemandirian itu kita dapat merdeka dalam bersikap, bebas dalam menentukan pilihan, dan tidak terikat dengan berbagai ketentuan yang bertentangan dengan hati nurani.

Lebih dari itu adalah sikap mental kita. Dalam soal rezeki, misalnya, kita harus yakin bahwa pemilik segala kekayaan ini adalah Allah. Dialah yang memberi jatah kepada makhluk-Nya, dan mendistribusikan secara adil sesuai dengan kemauan-Nya. Keyakinan ini tidak boleh hanya berhenti di hati, tidak cukup hanya diucapkan, tapi harus dibarengi dengan usaha keras untuk mendapatkannya. Bukan disebut yakin jika hanya berdiam diri tanpa bekerja. Baru disebut yakin, jika seseorang berupaya keras untuk mendapatkannya.

Dalam mengais rezeki Allah ini juga ada sunnatullahnya. Artinya, Allah menentukan hukum-hukum ekonomi secara paten dan pasti. Siapa yang mengetahui dan menerapkan hukum itu, ada jaminan untuk mendapatkannya. Sunnatullah ini tak peduli mengenai siapa saja, muslim atau kafir terkena hukum-Nya.

Terakhir, ada baiknya jika kita simak hadits qudsi di bawah ini, “Allah telah berfirman kepada Daud, ‘Demi keagungan-Ku, setiap hamba yang menggantungkan diri kepada-Ku tanpa bergantung kepada makhluk-Ku (yang Kuketahui dari niatnya), lalu ia ditipu oleh siapapun yang ada di langit dan bumi, niscaya Aku beri jalan keluar dari tipu muslihat itu. Adapun setiap hamba yang menggantungkan diri kepada makhluk tanpa bergantung kepada-Ku (yang Ku-ketahui melalui niatnya), niscaya Aku putuskan sumber rezekinya dari langit serta Aku tetapkan kehancurannya. Dan setiap hamba yang taat kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkaruniakannya sebelum meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkanuriakannya sebelum meminta kepada-Ku, serta mengabulkan keinginannya sebelum berdo’a kepada-Ku, dan mengampuninya sebelum minta ampun kepada-Ku.” (HR. Ibnu Asakir dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik). [SAHID/www.hidayatullah.com]

Waspadai Iblis Si Perusak Amal

 Qoyim mengatakan bahwa ikhlas itu  membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju ilal ikhlash)

DAHULU ada seseorang dari Bani Israil yang alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Suatu ketika ia didatangi sekelompok orang. Mereka berkata, “Di daerah ini ada suatu kaum yang tidak menyembah Allah tapi menyembah pohon.”

Mendengar hal itu ia segera mengambil kampak dan bergegas untuk menebang pohon itu.

Melihat gelagat tersebut, Iblis mulai beraksi dan berusaha menghalangi niat orang alim itu. Ia mengecohnya dengan menyamar sebagai orang tua renta yang tak berdaya.

Didatanginya orang itu setelah ia tiba di lokasi pohon yang dimaksud.

“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Iblis.

Orang alim itu menjawab, “Aku mau menebang pohon ini!”

“Apa salahnya pohon ini,” tanya Iblis lagi.

“Ia menjadi sesembahan orang-orang selain Allah. Ketahuilah ini termasuk ibadahku.” Jawab orang alim itu.

Tentu saja Iblis tidak menginginkan niat orang itu terlaksana dan tetap berusaha untuk menggagalkannya.

Karena Iblis berusaha menghalang-halanginya, orang alim itu membanting Iblis dan menduduki dadanya. Di sinilah Iblis yang licik mulai beraksi. “Lepaskan aku supaya aku dapat menjelaskan maksudku yang sebenarnya,” kata Iblis.

Orang alim itu kemudian berdiri meninggalkan Iblis sendirian. Tapi ia tidak putus asa. “Hai orang alim, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini atas dirimu karena engkau tidak akan menyembah pohon ini. Apakah Engkau tidak tahu bahwa Allah mempunyai nabi dan rasul yang harus melaksanakan tugas ini?”

Orang alim tersebut tak mempedulikannya dan tetap bersikeras untuk menebang pohon itu. Melihat hal itu, Iblis kembali menyerang. Tapi orang alim itu dapat mengalahkanya kembali. Merasa jurus pertamanya gagal, Iblis mempergunakan jurus kedua. Ia meminta orang alim itu untuk melepaskan injakan di dadanya.

“Bukankah engkau seorang yang miskin. Engkau juga sering meminta-minta untuk kelangsungan hidupmu,” tanya iblis.

“Ya, memang kenapa,” jawab orang itu tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan tergoda.

“Tinggalkan kebiasaan yang jelek dan memalukan itu. Aku akan memberimu dua dinar setiap malam untuk kebutuhanmu agar kamu tidak perlu lagi meminta-minta. Ini lebih bermanfaat untukmu dan untuk kaum muslimin yang lain daripada kamu menebang pohon ini,” kata Iblis merayu.

Orang itu terdiam sejenak. Terbayang berbagai kesulitan hidup seperti yang didramatisir Iblis. Rupanya bujuk rayu Iblis manjur. Ia pun mengurungkan niatnya. Akhirnya ia kembali ke tempatnya beribadah seperti biasa. Esok paginya ia mencoba membuktikan janji Iblis. Ternyata benar.

Diambilnya uang dua dinar itu dengan rasa gembira. Namun itu hanya berlangsung dua kali. Keesokan harinya ia tidak lagi menemukan uang. Begitu juga lusa dan hari-hari selanjutnya. Ia pun marah dan segera mengambil kapak dan pergi untuk menebang pohon yang tempo hari tidak jadi ditebangnya.

Lagi-lagi Iblis menyambutnya dengan menyerupai orang tua yang tak berdaya.

“Mau ke mana engkau wahai orang alim”“

“Aku hendak menebang pohon sialan itu,” jawabnya emosi.

“Engkau tak akan mampu untuk menebang pohon itu lagi. Percayalah! Lebih baik Engkau urungkan niatmu,” jawab melecehkan.

Orang alim itu berusaha melawan Iblis dan berusaha untuk membantingnya seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

“Engkau tak akan dapat mengalahkanku,” sergah Iblis.

Kemudian Iblis melawannya dan berhasil membantingnya. Sambil menduduki dadanya, Iblis berkata, “Behentilah kamu menebang pohon ini atau aku akan membunuhmu.”

Orang alim itu kelihatannya tidak punya tenaga untuk mengalahkan Iblis seperti yang pernah dilakukannya sebelum itu.

 “Engkau telah mengalahkan aku sekarang. Lepaskan dan beritahu aku, mengapa engkau dapat mengalahkanku,” tanya orang alim.

Iblis menjawab, “Itu karena dulu engkau marah karena Allah dan berniat demi kehidupan akhirat. Tetapi kini engkau marah karena kepentingan dunia, yaitu karena aku tidak memberimu uang lagi.

Kisah yang diuraikan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub itu memberi pelajaran bahwa betapa pentingnya nilai sebuah keikhlasan, yakni berbuat kebajikan tanpa pamrih kecuali hanya mencari ridho Allah SWT.

Ikhlas ini merupakan ruh ibadah kepada Allah SWT. Karena itu untuk mewujudkan ibadah yang berkualitas kepada Allah SWT, kita harus pandai-pandai menata niat. Niat inilah yang akan membawa konsekuensi pada diterima atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya, seseorang itu akan memperoleh apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya itu karena Allah dan rasulnya maka ia akan memperoleh pahala dan barang siapa hijrahnya itu karena harta atau wanita maka ia akan memperoleh apa yang telah diniatkannya itu.”
Asal muasal hadits ini adalah ketika Rasulullah SAW berdakwah di negeri Mekah merasa sulit karena selalu  mendapatkan perlawanan hebat dari kaum Quraisy. Beliau akhirnya mendapat perintah untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau pun memerintahkan para sahabat untuk berhijrah. Tapi para sahabat ternyata punya motivasi yang berbeda-beda dalam melakukan hijrah. Mulai dari sahabat yang ikhlas mencari keridhoan Allah SWT hingga alasan wanita, harta, dan benda. Karena itu Rasulullah menginstruksikan kepada para sahabat untuk menata niat mereka melalui hadits itu.

Memang niat mudah diucapkan namun sukar untuk dipraktikkan. Saat kita punya niat baik, maka saat itu juga Iblis telah bersiap siaga untuk menjerumuskan dan merusaknya. Padahal awalnya niat itu murni karena Allah.

Itulah sebabnya, Ibnu Qoyim mengatakan bahwa ikhlas itu membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju ilal ikhlash).

Niat itu bersarang dalam hati. Agar ia tetap terjaga utuh, seseorang harus menata niatnya sebelum melakukan amal, ketika melakukannya, dan sesudah selesai. Dan hal itu bisa dimiliki dengan melalui berbagai latihan (riyadhah) mental yang intensif, yakni berusaha menata niat, karena ia tidak akan serta merta bersih dengan sendirinya.

Yang perlu diwaspadai, Iblis menggoda manusia sesuai dengan kualitas ketaatannya kepada Allah. Semakin berkualitas seseorang kepada Allah, maka akan digoda oleh iblis kelas berat. Di sinilah pentingnya kita selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT untuk menjaga niat.

Apalagi manusia memiliki nafsu yang cenderung mengarahkan kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Bila ia tidak diarahkan sebagaimana mestinya, maka ia akan bekerja sama dengan Iblis untuk merusak niat seseorang, baik itu lewat penyakit ujub, riya dan sum”ah.

Kunci ibadah adalah ikhlas. Dan ikhlas itu ada di dalam hati orang yang melakukan amal tersebut.Maka sah atau tidaknya pahala amal itu tergantung pada niat ikhlas atau tidak hati pelakunya. Jika dalam melakukan amal itu hatinya bertujuan untuk mendapat pujian dari manusia, maka hal itu berarti tidak ikhlas. Akibatnya amal ibadah yang diusahakannya tidak menerima pahala dari Allah.

Kita benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk memasang niat dengan ikhlas dalam setiap ibadah kita. Jangan dicampuri niat itu dengan hal yang lain yang nantinya akan merusak pahala amal ibadah tersebut. Allah berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah: 5)

Sebagai seorang muslim kita harus bercermin dari kisah antara Iblis dan orang alim dari Bani Israil di atas.

Semoga Allah SWT melindungi kita dari Iblis Si Perusak  amal. [Ali Murtadho/hidayatullah.com

Sabtu, 11 September 2010

Penghalang Masuk Surga

Oleh Drs. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah
Setiap muslim pasti ingin memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat, karenanya hal ini selalu dipanjatkan dalam do'anya setiap hari. Kebahagiaan di akhirat berarti seseorang dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Swt. Namun keinginan saja ternyata belum cukup, setiap orang harus berusaha untuk bisa masuk ke dalamnya dan usaha itu harus dilakukan sekarang dalam kehidupan di dunia ini. Diantara usaha yang harus dilakukan dalam kehidupan di dunia ini agar bisa masuk ke dalam surga adalah dilepaskan atau dibuangnya berbagai penghalang sehingga perjalanan menuju surga bisa menjadi lancar. Penghalang yang harus disingkirkan itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan Al Hadits yang akan kita bahas melalui tulisan yang singkat ini.
1. Syirik Kepada Allah.
Syirik kepada Allah Swt adalah menganggap atau menjadikan selain Allah Swt sebagai Tuhan, ini merupakan syirik yang besar sehingga pelakunya bisa dinyatakan kafir, keluar dari Islam (murtad) dan seandainya sebelum itu dia melakukan amal yang shaleh, maka terhapuslah nilai amalnya itu, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih sendiri berkata: Hai bani israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolongpun (QS 5:72).Disamping itu, meskipun tidak sampai dinyatakan kafir, ada pula syirik yang kecil, yakni riya atau mengharapkan pujian dari amal shaleh yang dilakukan seseorang, bila hal ini selalu dilakukan dalam amal, maka seseorang bisa jadi tidak bisa masuk surga karena masuk surga harus dengan bekal amal shaleh yang banyak, sedangkan orang ini tidak punya nilai dari amal shalehnya karena terhapus dengan riya, itu sebabnya Rasulullah Saw sangat khawatir bila umatnya memiliki sifat riya, beliau bersabda:
ِانَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ. قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟. قاَلَ: اَلرِّيَاءُ
Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: “apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).
Termasuk syirik kepada Allah adalah mempercayai perdukunan, ramalan-ramalan nasib, tahayyul, jimat, sihir, jampi-jampi yang tidak berdasar, kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan aqidah Islam dan sebagainya.
2. Sombong.
Kesombongan merupakan sifat yang sangat tercela, hal ini karena manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya tidak pantas berlaku sombong. Hanya Allah yang Maha berkuasa, Maha kaya, Maha tahu dan sebagainya yang pantas berlaku sombong, meskipun Dia tidak menyombongkan diri. Karena itu, Allah Swt menutup pintu surga bagi orang-orang yang sombong, Rasulullah

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذََرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
 
Tidak masuk surga orang yang di dalam hati ada kesombongan meskipun hanya sebiji sawi (HR.Muslim).
Disamping itu, Allah Swt lebih murka lagi kepada orang menyombongkan diri dengan dosa yang dilakukannya atau bangga dengan dosa, hal ini membuat ia semakin sulit untuk bisa masuk ke dalam surga sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri kepadanya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk ke dalam surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (QS 7:40).Kesombongan menjadi penghalang untuk bisa masuk surga karena memang sangat berbahaya bagi manusia, khususnya orang yang memiliki sifat tersebut. Paling tidak, ada empat bahaya sifat sombong.
Pertama, Merasa menjadi orang yang paling baik dan benar sehingga ia menjadi orang yang mau menang sendiri. Ini bermula karena ia memiliki kelebihan-kelebihan, namun ia tidak melihat bahwa banyak orang yang memiliki kelebihan yang lebih hebat dari kelebihan yang dimilikinya.
Kedua, Tidak senang pada saran, hal ini karena ia sudah merasa sempurna, tidak punya kekurangan, apalagi bila kesombongan itu tumbuh karena usianya yang sudah tua dengan segudang pengalaman, ia akan menyombongkan diri kepada orang yang muda, atau sombong karena ilmunya banyak dengan gelar kesarjanaan di depan dan di belakang namanya, maka akan berlaku sombong kepada orang yang tidak lebih tinggi pendidikannya. Kalau saran saja sudah tidak mau diterimanya, apalagi kritik.
Ketiga, Tidak senang terhadap kemajuan yang dicapai orang lain, hal ini karena apa yang menjadi sebab dari kesombongannya akan tersaingi oleh orang itu yang menyebabkan dia tidak pantas lagi berlaku sombong, karenanya orang seperti ini biasanya menjadi iri hati (hasad) terhadap keberhasilan, kemajuan dan kesenangan yang dialami orang lain, bahkan kalau perlu menghambat dan menghentikan kemajuan itu dengan cara-cara yang membahayakan seperti memfitnah, mengembangkan permusuhan hingga pembunuhan.
Keempat, Menolak kebenaran meskipun ia meyakininya sebagai sesuatu yang benar, hal ini difirmankan Allah Swt di dalam Al-Qur’an: Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan (QS 27:14).
3. Memutuskan Persaudaraan.
Pada dasarnya, manusia itu adalah makhluk yang bersaudara dengan sesamanya, karenanya jangan sampai tergadi kebencian dan permusuhan tanpa alasan yang bisa dibenarkan, apalagi bagi orang yang memiliki kesamaan iman terutama bila yang sesama mu'min itu memiliki ikatan persaudaraan dalam nasab atau keturunan. Karenanya bila terjadi pemutusan hubungan persaudaraan dalam nasab, maka Allah Swt amat menyayangkan hal itu sehingga Dia yang menjadi pemilik surga tidak akan memasukkan orang yang memutuskan persaudaraan, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Tidak masuk surga orang yang memutuskan, yakni memutuskan silaturahim (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Tidak dimasukkannya orang yang memutuskan silaturahim ke dalam surga karena Allah Swt sangat murka sehingga laknat-Nya akan turun kepada mereka, hal ini dinyatakan dalam firman Allah Swt: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS 47:21-23).Karena hubungan persaudaraan yang berasal dari satu rahim ibu harus disambung dan diperkokoh, maka siapa saja yang memutuskannya akan mendapatkan kutukan dari Allah Swt, dan bagaimana mungkin orang yang mendapatkan kutukan Allah bisa masuk ke dalam surga, Allah Swt berfirman: Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturrahim) dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka). (QS 13:25).Oleh karena itu, orang yang memutuskan silaturahim dimasukkan oleh Allah ke dalam kelompok orang yang fasik dan mereka akan menjadi orang-orang yang rugi, baik di dunia maupun di akhirat, hal ini terdapat dalam firman Allah Swt: Dan tidak ada yang disesatkan kecuali orfang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya (silaturrahim) dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 2:26-27).Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa manakala kita ingin masuk ke dalam surga, maka segala rintangan yang menghalangi harus bisa kita singkirkan.
Drs. H. Ahmad Yani
ayani__ku@yahoo.co.id

Bersih Dari Penyakit "Merasa" oleh Aa Gym



Bulan Ramadhan adalah bulan suci dan mensucikan. Itu semua bisa dirasakan oleh hati kita. Peningkatan rasa di hati menambah kepekaan hati kita. Kepekaan hati terkait juga dengan seberapa besar dosa-dosa yang kita lakukan. Semakin banyak kita berbuat dosa, akan semakin tumpul dalam kepekaannya. Namun dosa yang terkikis karena taubat yang kita lakukan, maka dapat menambah kepekaan hati.
Pengaruh dari kepekaan hati adalah mudahnya kita mengendalikan lisan dan hati akan reflek dengan hal-hal, baik yang dilarang maupun yang boleh dilakukan. Seakan-akan terdapat sinyal di hati, apabila akan dan sudah berbuat kesalahan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperhatikan keadaan hati. Semakin baik kondisi hati, maka akan semakin khusyuk ibadah kita, semakin tersentuh hati kita dengan bacaan-bacaan Al-Qur’an dan keMaha Agungan Allah SWT. Diri kita akan selalu merasa dipandang Allah jika hati kita peka. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan menjadi amal kalau ada kepekaan hati dan waspada bahwa Allah adalah maha menatap. Ciri Ramadhan yang sukses sesungguhnya dapat kita lihat dari bagaimana reaksi kita terhadap orang lain bukan reaksi orang terhadap kita.
Kunci dari hati yang tidak berkualitas adalah MERASA, yaitu selalu ingin merasa lebih dari orang lain dan merasa ingin dinilai orang. Inilah justru yang membuat hati menjadi bebal.
Sudah banyak orang yang rusak karena populer, merasa menjadi idola, sehingga ia menjadi geer, hidupnya menjadi terpenjara oleh perasaaan ‘merasa’ itu. Karena merasa teladan versi manusia, ia akan berbuat apapun hanya karena ia merasa tidak bisa dilepaskan dari topeng tersebut. Ia akan terus menjaga supaya topeng teladannya itu tidak lepas dari dirinya. Inilah bahayanya termakan pujian. Ia tidak mau hilang atas pujian orang-orang. Ia akan terus belajar, namun motifnya supaya disebut tetap aktual, atau karena ingin agar ceramahnya bisa menembus hati. Bukan karena untuk keridhaan Allah. Jadi, ia mati-matian belajar bukan supaya dekat dengan Allah, tapi supaya tetap disebut seorang ustadz yang hebat. Lalu adakah Allah di sana? Tipis, memang. Berapa banyak orang yang akan ceramah, belajar supaya dianggap ceramahnya bagus semata, atau agar ceramahnya tidak membosankan. Jadi tidak ada urusan belajar dengan taqarub kepada Allah, tetapi ia belajar urusannya dengan penilaian orang. Ikhlaskah dengan motif seperti itu?
Orang yang lillahi ta’ala itu juga belajar. Namun, belajarnya mereka karena ingin dekat dengan Allah. Ia menganggap bahwa ilmu itu penting, yang menyebabkan ia mengenal dengan Allah. Ia akan menyampaikannya untuk berdakwah, agar orang lain juga mendapat manfaatnya. Banyak peluang untuk tidak ikhlas. Ingin dipuji, takut dicaci, itu sama dengan tidak ikhlas.
Ada juga orang yang berupaya senantiasa tampil diam. Namun diam palsu yang direncanakan untuk wibawa. Padahal perbuatan itu hanya topeng semata, tidak lillahi ta’ala. Sesungguhnya berpenampilan diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam menjadi emas, tapi ada juga yang dengan diam menjadi masalah. semuanya tergantung kepada cara, situasi, kondisi, dan lingkungannya.
Ada yang menggunakan aksesori Islam untuk menjadikan hebat dirinya. Tapi ada pula yang menjadikan Islam lebih hebat dengan pengorbanan dirinya. Sebetulnya sewaktu berjihad yang beruntung adalah kita. Karena Islam itu sudah sempurna dan hebat. Ada tidak adanya kita, Islam sudah sempurna. Apakah dengan kita berjuang, Islam yang menjadi jaya? Justru kita lah yang menjadi jaya. Diibaratkan apakah bisa orang merusak yang sudah disempurnakan Allah?
Kaum akhwat yang berjilbab itu adalah ideal, dan syar’i, apabila dilandasi dengan hati yang bersih. Tapi jilbab besar bisa menjadi hijab kalau tidak dengan mujahadah (kesungguhan) membersihkan hati. Kalau besar hati menjadi takabur karena dengan jilbabnya itu ia menjadi menghina orang. Mestinya, bukan diganti jilbabnya, tapi jangan merasa hebat dengan topeng yang dipakai. Bukan hanya dengan jilbab besarnya, tapi dengan bersihnya hati. Hebatnya ibadah juga bisa menjadi hijab, kalau ia merasa lebih daripada yang lain. Bukan berarti harus mengurangi ilmu dan meremehkan yang banyak beribadah, tapi harus berhati-hati. Yang berilmu dan banyak ibadah jangan sampai menjadi hijab karena ujub termakan oleh pujian.
Waspada terhadap topeng-topeng yang sedang kita pakai. Ayo periksa topeng-topengnya. Biasanya berupa jabatan, status ilmu, kemampuan bahasa, jumlah hapalan atau apa saja yang menyebabkan perbuatan kita tidak lillahi ta’ala. Akibatnya hati tidak akan merasa nyaman atau klop. Hati akan klop bila ikhlas seperti mur dan baut.
Langkah apa yang harus kita lakukan? Periksa apa saja yang bisa menjadi potensi yang menyebabkan rusaknya hati. Memperlihatkan lelah pun bisa membuat tidak ikhlas, apabila didramatisir kecapaiannya. Atau sehabis pulang dari luar negeri, apakah itu perlu dikatakan, atau hanya untuk sekedar pamer. Pelajaran ini adalah pelajaran memeriksa.
Dengan berusaha untuk membersihkan hati, tidak ingin dipuji atau dihargai, maka hati akan terasa enak dan tenang. Pada hakikatnya Allah yang menenangkan. Orang lain pun merasa enak. Kata-katanya bisa merasakan, bisa terbaca. Akan terasa enak bila murni lillahi ta’ala. Sudah tidak mengharapkan dari siapa pun kecuali dari Allah semata, itulah tauhid. Putus asa dari selain Allah. Tidak ada yang bisa memberi apa pun tanpa ijin Allah. Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus [10] : 107)
Oleh sebab itu, kalau ada sesuatu yang paling mahal dalam hidup ini, maka “kesungguhan kepada Allah”, inilah, yang paling mahal. Ia ingin dekat dengan Allah, tetapi hakikatnya Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Allah berfirman :
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf [50] : 16).
Orang yang hanya Allah tujuannya, hidupnya akan senantiasa bersih dan lurus; dipuji, tidak dipuji, bahkan dicaci sekalipun, sama sekali tidak ada masalah, karena baginya apa yang dilakukan oleh makhluk itu tidak begitu banyak nilainya.
Siapapun yang mengenal Allah, tidak akan merasa kecewa. Ia menjadi yakin bahwa semuanya telah ada ukurannya. Dan kebahagiaan, ketenangan, semuanya berbanding lurus dengan keyakinan kita. Allah berfirman :
“Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS Ar-Rahman [55] : 60) “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna.” (QS An-Najm [53] : 39-41)
Semoga Allah selalu menuntun kita menuju hati yang lapang, bersih dan terbebas dari penyakit.